Selasa, 23 November 2010

Indonesia alami kerusakan Hutan 1,8 juta hektar per-tahun

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Umar Anggara Jenie, M.Sc, Apt mengungkapkan bahwa kondisi hutan di Indonesia
sudah mengkhawatirkan karena 1,8 juta hektare hutan hancur per tahun. "Pada edisi 2008 `Guinness Books of Record` melansir bahwa Indonesia merupakan negara yang hutannya mengalami kerusakan paling cepat di antara 44 negara yang masih memiliki hutan, yakni 1,8 juta hektare hutan hancur per tahun," katanya pada peringatan hari Keanekaragaman Hayati se-Dunia dan Tahun Keanekaragaman Hayati di Pusat Penelitian (Puslit) Biologi, Cibinong Science Center (CSC), Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), Sabtu, (22/5).



Umar mengatakan, data tersebut berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 hingga 2005, artinya tingkat kehancuran hutan mencapai dua persen setiap tahun atau setara dengan 51 kilometer persegi per hari. Bahkan, di Jawa dan Bali lebih kurang 91 persen dari hutan alam yang pernah ada kini telah berubah musnah dan beralih fungsi, jelas Umar. Selain itu, kata dia, Indonesia juga akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia dan modal pembangunan utama yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat.



"Melihat kenyataan tersebut, penyelamatan tumbuhan asli Indonesia menjadi suatu keniscayaan dan harus memacu kita untuk mencegah punahnya tumbuhan sebagai aset yang tidak ternilai harganya untuk modal pembangunan dan masa depan bangsa," jelasnya.Umar mengatakan, keanekaragaman hayati merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional dan modal strategis dalam meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa. Indonesia, katanya, memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah sehingga dijuluki sebagai "Megadiversity Country". Dalam hal keanekaragaman tumbuhan, katanya, Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia, memiliki lebih dari 38.000 jenis tumbuhan, di mana 55 persen diantaranya merupakan jenis endemik.



Untuk Pulau Jawa saja, kata dia, sejumlah jenis setiap 10.000 kilometer persegi mencapai 2.000-3.000 jenis. Sedangkan di Kalimantan dan Papua mencapai lebih dari 5.000 jenis, dan masih banyak keanekaragaman hayati lainnya yang berpotensi dan memiliki prospek secara ekonomis maupun keilmuan. "Namun, fakta di lapangan menunjukkan degradasi habitat yang berimplikasikan pada penurunan keanekaragaman ekosistem, kenis dan genetik memperlihatkan `trend` yang semakin mengkhawatirkan," katanya. Oleh karena itu, kata Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI Mustaid Siregar mengatakan, diperlukan sebuah kesadaran dan kepedulian untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati. LIPI sebagai lembaga riset, katanya, memiliki peran penting dalam penyelamatan. Melalui peringatan hari keanekaragaman hayati, kata dia, LIPI mencoba mengiformasikan kepada masyarakat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk kehidupan.


"Kita mengundang siswa SD dan SMA untuk melihat aksi penanaman pohon dan pameran keanekaragaman hayati agar mereka mengetahui kekayaan yang kita meliki dan langkah apa untuk melindunginya," kata Mustaid yang juga panitia acara. Sementara itu, Sekretaris Utama LIPI Prof. Rochadi Abdul Hadi mengatakan, penanaman yang dilakukan tidak hanya penanaman semata, tapi jenis pohon yang ditanam adalah jenis tanaman endemik di Indonesia yang populasinya terancam punah.


Penanaman 2010 pohon dilakukan di kawasan "ecopark" yang merupakan perluasan dari Kebun Raya Bogor, sekaligus untuk dikonservasi. "Ini bukan asal menanam saja, tapi yang kita tanam adalah tanaman jenis endemik Indonesia yang sudah mau punah, ada 17 jenis dengan jumlah 2010 pohon," katanya. Rochadi mengatakan, selama ini banyak yang melakukan penanaman pohon tidak diperhatikan jenis pohon yang ditanam, sehingga nilai pohon yang ditanam tidak bermanfaat. Dia mencotohkan banyak kalangan melakukan penanaman pohon jenis Akasia yang bukan asli Indonesia, ternyata pohon tersebut merusak ekosistem yang lain.


Jenis-jenis pohon yang ditanam di "ecopark" di antaranya jenis Fatika rasa, dan meranti-merantian yang berasal dari Kalimantan yang kini sebagian hutannya sudah hilang. Rochadi menambahkan peran LIPI dituntut untuk mengembangkan dan mengkoservasi jenis tumbuhan yang sudah terancam punah, menyelamatkannya agar setelah tumbuh dapat dikembalikan ke alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar